Malam harinya Djohan kembali ke rumah dengan tubuh lemas dan langkah kakinya terseok seok. Melangkah menghampiri rumah Marina. Dalam kegelapan Malam itu, rumah yg berdiri megah itu nampak sunyi. Lampu di ruang depan sudah padam. Begitu Djohan hendak menekan bell, pintu rumah sudah terbuka. Rupanya suara kereta mengingatkan Marina jika Djohan pulang.
"Baru pulang, bang?" sapa Marina sembari tersenyum.
"Ya," sahut Djohan lemah. Dia terus melangkah masuk ke ruang dalam.
Marina mengikuti langkah Djohan. Di ruang tengah Djohan menghenyakkan pantat di kursi. Matanya kuyu. Wajahnya sendu dan kehilangan gairah. Marina memperhatikan sikap Djohan yg agak aneh.
"Malam ini abang nampak gelisah, ada sesuatu yg abang pikirkan?" tanya Marina lembut.
Djohan menggeleng lemah.
"Jangan menyembunyikan sesuatu Bang. Kalau terjadi apa apa aku pun turut memikulnya."
"Tak apa apa, hanya...."
"Hanya apa, bang?"
Djohan menatap wajah Marina dalam dalam. Pancaran mata Djohan mencerminkan hatinya dengan tulus mencintai Marina. Takut kehilangan Marina. Takut juga kebahagian yg dirintihnya sekarang akan hancur berantakan.
"Sungguh sungguhkah kau mencintaiku?" tanya Djohan resah.
"malam ini abang nampak aneh?"
"Ya. Kerna aku takut cintamu akan berubah. Kau akan meninggalkan aku."
Marina memeluk Djohan. Menjatuhkan kepalanya di dada Djohan yg bidang. Mengusap usap kemeja suaminya dengan lembut.
" kenapa abang masih ragu padaku? Belum cukupkah cinta dan kasih sayang yg kuberikan pada abang? Katakanlah bang, apa yg harus kulakukan untuk membuktikan cintaku. Katakanlah," desak Marina.
"Kau tak akan meninggalkan aku, walau apapun yg akan terjadi."
"Tentu, bang. Aku akan menjadi istri yg setia."
"Marina," panggil Djohan lembut.
"Hurmmm?"
Belaian tangan Djohan di rambut Marina, membuat Marina memejamkan mata meresapi kasih sayang suaminya.
"Aku takut kebahagiaan kita akan hancur."
"Siapa yg akan menghancurkan?" tanya Marina.
Djohan tak menjawab melainkan mencium bibir Marina mesra. Dibalasnya ciuman Djohan dengan hangat. Djohan mengajak Marina masuk kedalam bilik.setelah mematikan lampu, beranjaklah mereka ke atas tempat tidur. Malam semakin sunyi. Suasana di daerah kaum elite itu sunyi senyap. Sesekali angin malam berhembus menyusup celah celah lubang jendela. Menyebarkan aroma bunga sedap malam.
*****
Djohan berangkat ke kantor kesiangan. Kerna hampir semalaman dia tak dapat memejamkan mata. Keresahan yg bercokol di hatinya terus saja menyergap nyergap. Kedatangan Rita menimbulkan problem yg tak kecil artinya. Djohan resah kerna kebahagiaan yg dirasakan hidup bersama Marina akan terbentuk pada kehancuran.
Ketika Djohan baru saja masuk keruang kerja, dia tersentak. Rita sudah duduk menunggunya. Gadis itu melempar senyum manis pada Djohan. Tapi mata Rita membaca mimik wajah Djohan yg risau.
"Sudah lama menunggu?" tegur Djohan.
"Satu jam yg lalu," sahut Rita sambil menghembuskan asap rokok.
Djohan merasa malas memandang sikap Rita yg sudah jauh berbeda. Agaknya kehidupan orang orang barat telah menjelma dalam dirinya. Sebelah kakinya dinaikkan ke atas meja tamu sambil asyik menghisap rokoknya. Djohan sebentar sebentar menarik napas panjang.
"Aku baru saja menelpon ke rumahmu,tapi pelayan memberi tahu semalam kau tak pulang. Tidur di mana?" tanya Rita.
"Di rumah teman."
Djohan duduk di belakang meja kerja. Membuka beg dan mengeluarkan catatan Penting.
"Seorang Wanita?"
"Bukan."
Rita tersenyum sinis. Matanya terus memandang bekas tanda di leher Djohan. Sementara Djohan tak menduga ada bekas tanda di lehernya. Dia asyik membaca catatan itu.
"Jangan bohong, Djohan."
kepala Djohan terangkat pelan pelan dan matanya memandang gadis yg merokok di depannya. Pancaran mata Djohan mengandung kerisauan.
"Bekas tanda di lehermu merupakan bukti. Kau tak bisa mengelak," ucap Rita sambil tertawa.
Djohan jadi malu. Apalagi mendengar tawa Rita yg seolah olah mengutuk dirinya.
"Wel, itu sudah lumrah. Sebagai seorang pemuda yg tampan sudah tentu banyak di cintai gadis gadis," sambung Rita.
Senyum yg menghiasi wajah Djohan sedikit mengurangi kerisauan. Dan Djohan merasa, bahwa Rita menganggap hal semacam itu sudah wajar. Hati Djohan menjadi lega akan sikap Rita yg polos.
"Siang ini papa akan mengundang kita makan bersama sama. Kau tak terlalu sibuk bukan?" ujar Rita
"Sekalipun sibuk, akan kupenuhi undangan makan siang nanti."
"Kau memang terlalu baik," kata Rita gembira.
"Apakah kau akan menunggu sampai undangan makan siang nanti?"
"Ya, aku masih belum puas melampiaskan rinduku padamu. Disini aku bisa melepaskan rindu.
Djohan tertawa. Bukan main, sikap Rita begitu terus terang dan tak mempunyai perasaan malu.
Sambil menyelesaikan pekerjaan Djohan menemani Rita. Mereka berbicara dari Barat sampai Ke Timur. Yg paling memonopoli pembicaraan adalah Rita. Hampir seluruh pengalamannya di Negeri Barat diceritakan pada Djohan.
Ketika jarum di dinding sudah menunjukkan pukul satu siang, Rita menelphone kedua orang tuanya.
Aku bukan permata penghias mahkota,aku hanya serpihan kaca yang terbuang,aku bukan pujangga yang kau puja,aku hanya penulis murahan,yang terbiar di tepi jalan,karyaku hanya inspirasi picisan,jangankan hendak menulis 10 judul dalam 1 jam,satU bAitpun aku haBiskan berbulan bulan,aku tidak memiliki kepandaian menulis,aku cuma ada keinginan.
Ucapan saya
Selamat datang d'blog saya,yang serba sederhana.
blog ini terbina untuk meluahkan perasaan dan mengisi waktu yang kosong. kepada penulis blog yang telah menyalin atau mencetak karya yang ada dalam blog ini,tanpa seizin saya,di harap me-delete daripada blok anda.
Terima kasih,,atas kerja samanya n perhatianya,,saya sangat menghargainya..
blog ini terbina untuk meluahkan perasaan dan mengisi waktu yang kosong. kepada penulis blog yang telah menyalin atau mencetak karya yang ada dalam blog ini,tanpa seizin saya,di harap me-delete daripada blok anda.
Terima kasih,,atas kerja samanya n perhatianya,,saya sangat menghargainya..
Kamis, 30 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar