Ucapan saya

Selamat datang d'blog saya,yang serba sederhana.



blog ini terbina untuk meluahkan perasaan dan mengisi waktu yang kosong. kepada penulis blog yang telah menyalin atau mencetak karya yang ada dalam blog ini,tanpa seizin saya,di harap me-delete daripada blok anda.



Terima kasih,,atas kerja samanya n perhatianya,,saya sangat menghargainya..

Senin, 14 Februari 2011

Cerpen: Elegi 14 Februari ! End

Aku tak perlukan waktu lama untuk
menyadari, bahwasanya cinta telah
menentukan pilihannya. Kubiarkan kepak
sayap sayap cinta menerbangkan
kepingan hatiku yg renjana.

Hanya beberapa saat kamu tiba di
rumahmu, kamu meneleponku. Aku
sendiri yg mengangkat telepon darimu
itu. Kamu katakan kepadaku, kamu
bahkan belum bertemu dengan kedua
orangtuamu. Dan seperti tak mau membuang
waktu, kau ungkapkan sesuatu
yg membuat aku sangat terkejut saat itu.
Kamu katakan kepadaku,

" Aku mencintaimu!"

Ah, aku langsung membisu. Segera
kututup telepon. Ah, kalau saja kamu bisa melihat rona merah di wajahku saat itu.
Aku bahkan sampai melompat lompat
kegirangan, sebelum meneleponmu. Dan
kukatakan kepadamu,

"Aku juga mencintaimu!"

tak ada kebahagiaan yg melebihi
kebahagiaan yg kurasakan saat itu.
Kalau saja tak ada jarak yg memisahkan
kita, aku akan berlari ke rumahmu.
Tapi...pantas tak, ya? Ah, kenapa harus tak pantas. Yg pasti, aku ingin sekali
bisa menikmati senyummu itu!

Dan mulai detik itu, kamu adalah bagian
dari hembusan napasku. Hidup di organ
paru paruku. Menjelma udara di sekitarku.
Menyatu dalam setiap tarikan napasku.
Kapanpun dan di mana pun aku, selama
napas ini masih berhembus, kamu akan
selalu ada dalam diriku.
Tak peduli ratusan mil jarak yg
membentang di antara kita.
Kita akan selalu bersatu,
sampai Izrail menemukan nama salah
satu di antara kita tertulis di atas selembar
daun yg jatuh di kakiNya.

Dua tahun masa yg bahagia. Kalau
kebahagian memang benar nyata adanya.
Masa yg hampir sempurna. Kesempurnaan
yg tentunya tak akan tersempurnakan
kini.
Sebab yg tertinggal hanya
kegetiran menyaksikan dirimu menangis
memandangi seonggok tubuh membeku
yang terbujur di hadapanmu.

Semestinya, ini hari yg sangat
bahagia. Sebab pada hari ini, semua
orang merayakan hari kasih sayang.
Mungkin dirasa perlu merayakan Hari
Kasih Sayang... Semenjak negeri ini
terkungkung dalam krisis multidimensi,
kasih sayang jadi serupa mimpi mimpi
yg hanya bisa kita nikmati saat tidur
malam. Atau kehidupan kini memang
layaknya mimpi mimpi? Kalau iya, aku
ingin segera bangun dari tidur dan
melupakan mimpi buruk yg sedang
kujalani saat ini. Tapi, mana mungkin...
Aku tak mungkin mengubah takdir yg
telah digariskan.

"Telah kutempuh ratusan mil jarak yg membentang
hanya untuk berbagi kasih sayang di Hari
Kasih Sayang, dengan seseorang yg
selama ini menghuni organ paru paruku,
menjelma udara di sekitarku, menjadi bagian dari
hembusan napasku dan menyatu dalam
setiap tarikan napasku. Sebab kau adalah kekasihku." Begitu yg kau ucapkan di sela sela tangismu. Dan itu pula yg
menjadi keinginanku. Ah, kalau saja kamu
bisa mendengarku... Tapi kamu tak
mungkin mendengarku. Jadi, aku tak mengatakan apa apa kepadamu. Aku
hanya diam, sambil menangis. Ya, sambil menangis.

Terkadang keinginan memang tak
selalu segaris dengan kenyataan. Kemarin,
aku masih bisa bermain main dengan
bayangan wajahmu. Berharap Dia terlambat menjemputku.
Aku masih ingin merasakan
dirimu seutuhnya, bukan dirimu yg
menjelma udara di sekitarku.
Aku ingin menyentuh wajahmu dengan
jemariku, merasakan desah napasmu di
telingaku, membenamkan tubuhku ke bidang dadamu,
lalu kita menyatu dalam setiap tarikan
napas.
Seperti Sam Pek-Eng Tay, kita akan menjelma sepasang merpati
berhati renjana, bercinta di layar jingga
cakrawala ketika fajar memendar dari
balik puncak Mahameru.

Tapi, Dia tak mungkin mengundurkannya barang sedetikpun. Kerna itu yg
telah ditetapkan-Nya. Dia hanya menjalankan
apa yg diperintahkan-Nya. Tak mungkin membantah.
Kerna dia memang diciptakan untuk melakukan tugas itu.
Memisahkan nyawa dari raga tiap
manusia, ketika telah sampai
waktunya tiba.

Ya, Dia yg kumaksud adalah Sang Maut. Izrail Hari ini, namaku telah tertulis
di atas selembar daun yg jatuh di
kakinya. Dua tahun, aku telah merahasiakan penyakitku padamu.
Sudah lama kanker itu bersarang di otakku. Aku melakukan
itu kerna tak mau kamu bersedih.
Aku tak sanggup melihat telaga matamu mengering.
Dan kini, harus kubawa rahasia itu ke liang kuburku.

Ryan.... Akhirnya aku hanya bisa
berharap, semoga namaku akan selalu
terpahat di kepingan hatimu. Seperti
namamu yg akan selalu terpahat di
dinding pusara hatiku. Maaf, kalau
kepergianku yg tanpa permisi, membuat
hatimu merengkuh luka.

Sudah ya, Ryan... Awan hitam telah
menyelimuti langit di atas kepala. Hujan
sebentar lagi akan tercurah.
Seperti air mataku. Yg akan mengiringi kepergianku. Dan itu tandanya.
Kamu harus segera menguburku.
Selamat tinggal!

***** TaMaT*****

sory, kalau x best.
Cerpenye merepek, entah jadi ceita apa,he he

Cerpen: Elegi 14 Februari ! 1

Sesaat setelah aku berhasil menggapai setitik cahaya di ujung lorong itu, aku menemukan seraut wajah berkalang duka, duduk bersimpuh di depan sesosok tubuh membeku. Kamu!! Ya, kamu yg selama dua tahun ini menjadi bagian dari hembusan napasku.
Sebelum...... Ah, kulihat sungai mengalir dari ujung matamu. Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir aku melihatmu.

Aku merogoh kantung kantung masa lalu. Ah, kamu masih ada di situ. Senyumku mengembang mengenang semua hal yg pernah kita lakukan bersama. Saat kamu menjadi hembusan napasku.
Sesuatu yg mungkin tak akan pernah lagi kutemukan setelah hari ini.

Kita bertemu dua tahun yang lalu. Saat aku berjuang menaklukkan penat dan putus asaku. Saat napasku satu satu, meniti setapak yg menanjak, membelah hutan, menyeberangi savana, melintasi danau, merayapi bebatuan di lereng lereng semeru.

Aku satu satunya wanita di antara ketiga temanku yg kesemuanya laki laki.
Sementara, kamu hanya seorang diri. Aku
memang terbiasa mendaki gunung.
Menikmati sentuhan tangan tangan Ilahi
pada pepohonan, bebatuan, riak mata air,
kicau burung, lenguh angin, letup kawah
dan cakrawala ketika fajar dan senja
mementaskan teater jingga, menjadi akhir
dan awal kembara hari sang bagaskara.
Tapi, baru kali itu, kulihat seseorang
melakukan pendakian seorang diri.
Apalagi mendaki ke Mahameru, yg merupakan gunung tertinggi di pulau Jawa. Ah, kamu langsung membuatku
kagum saat itu.

Arloji di pergelangan tanganku menunjuk angka 2, saat aku dan ketiga temanku
meninggalkan Arcopodo, menuju puncak semeru.
Kulihat kamu berada beberapa langkah di belakang. Perlukan waktu tiga sampai empat jam untuk dapat tiba di Mahameru dari Arcopodo yg merupakan batas vegetasi, itu yg di katakan
teman temanku.

Kabut memagut. Menusuk. Melesakkan
butir butir embun sampai ke tulang.
Menggigilkan. Pelan pelan, aku pijaki batuan pasir yg mudah menggelincir. Dan kulihat di belakang, kamu, sesekali terpaksa harus menghindar dari runtuhan
kerikil yg kupijaki.

Setelah dua jam berjalan hampir tanpa istirahat yg berarti, langkahku mulai
tertinggal beberapa kaki di belakang ketiga temanku.

"Jalan je terus! Aku tak apa apa!" aku meneriaki ketiga temanku
yg tak sabar menungguku yg mulai kepenatan.

"Air?" kamu tawarkan botol minumanmu
kepadaku.

"Wah, kebetulan!" aku ambil botol air mineral dari tanganmu. Lalu bagai huma yg merindukan renik hujan, kutuang sebotol air mineral ke dalam kerongkongku yg melepuh.

"Ups... Habis...," aku meringhs menanti reaksi darimu.

Segaris senyum terbit di raut penatmu.
Ah, senyum itu... Rasanya tak rela kalau harus melupakan senyum itu untuk selamanya. Apakah di sana, aku akan
bisa menikmati senyummu itu? Entahlah.

"Teruskan?" tantangmu.

"Siapa takut!" jawabku.

Lalu, kita melanjutkan pendakian.

"Masih berapa lama lagi?"

"Kalau tak terlalu banyak
istirahat, tak lebih dari sejam kita
sudah sampai ke Mahameru untuk
menyaksikan Sunrise."

"Wah... Masih cukup jauh, ya? Ini pendakian pertamaku ke Semeru."

"Kenapa? Mau nyerah?" godamu.

"No retreat! No surrender!" jawabku tegas.

Ada kagum di binar matamu, saat aku mengatakan itu.

"Tapi...."

"Kenapa lagi?"

"Masih punya air?"

"Tenang je, masih ada beberapa botol lagi."

"Yes! Aman." kataku. Ah, lagi lagi kamu
mempertontonkan senyummu itu.

Teja sempurna membakar cakrawala. Menyemburat. Mengurai mega yg arak
berarak. Setelah tiga jam lebih, berjalan dari Arcopodo, kita berhasil menyinggahi puncak Mahameru, dataran tertinggi di pulau Jawa.

Tak ada kata kata yg keluar dari
mulutku. Sebab aku tak menemukan kata
kata yg tepat untuk melukiskan keindahan
yg membentang di pelupuk
mataku. Tak bedanya dengan kamu. Meski
waktu itu, kau katakan kepadaku, perjalanan
itu merupakan kali kedua kamu
menjejakkan kaki di puncak itu.

Dan tanpa kusadari, aku telah berada di
dalam dekapanmu. Kita seperti sepasang
merpati berhati renjana.

Lucu, memang. Kita bahkan belum
saling menyebutkan nama. Padahal,
sepanjang sisa pendakian saat itu, kita
banyak bertukar cerita. Tapi, kita malah
lupa saling memperkenalkan nama kita.
Kalau saja ketiga temanku yg sudah lebih dulu sampai tak mengerumuni kita
dengan mata mata yg memeram ribuan
tanda tanya, mungkin kita tak akan pernah
menyadari, kita memang belum saling
berkenalan secara resmi. Kita begitu
terbawa suasana.

"Eh. So.. Sory...," kataku dengan rona
muka yg memerah, serupa
dengan wajahmu saat itu. Lalu, kita sama
sama terjebak dalam kekakuan yang
membingungkan. Sindiran sindiran lawak
segera berhamburan dari mulut
ketiga temanku.

"Sendirian?" tanya Janu salah seorang
temanku yg berwajah oriental, mencairkan kebekuan.

"Berdua dengan Porter," katamu. " dia
nunggu di Arcopodo."

setelah itu, baru kita saling berkenalan.
Dan tentunya , tak lupa kita juga saling
memperkenalkan nama kita masing
masing. Ha ha ha....

Ah, aku selalu tak mampu menahan
tawa setiap kali terkenang awal
pertemuan kita....


******
B
E
R
S
A
M BUNG..

Sabtu, 05 Februari 2011

PELITA CINTA ! 6

Masih seperti dulukah dia setelah hampir setahun ia bersama Ricky? Rasanya sayang sekali jika Airin harus berubah.

"Sejauh mana hubunganmu dengan Ricky?" tanya Ronald tiba tiba.

"maksud kamu?" tanya Airin tak mengerti.

"Kamu pernah tidur dengannya?"

"Kenapa kamu tanyakan itu?" tanya Airin agak sinis. "Apa kerna kamu sudah pernah tidur dengan Ersa?"

"Saya nanya, dan saya perlukan jawaban kamu, bukan pertanyaan," sergah Ronald.

"Tapi saya tak suka pertanyaan itu, saya terasa, kerna sejak dulu sampai sekarang prinsip saya sama. Dan sata tetap tak setuju seks sebelum menikah."

"O Ya?" terbersit rasa kagum. Dan..., ah, pasti sangat sukar mencari gadis seperti itu di era sekarang ini. "syukurlah, saya lega," ucap Ronald senang.

"Kamu sendiri?"

"Jangan tanya saya, saya tak tahu."

"Kamu pasti berbeda, kamu pernahkan tidur dengan Ersa?"

Ronald tidak menjawab.

"Kamu harus adil, kamu harus jawab pertanyaan saya dengan jujur."

"Jika saya pernah tidur dengan Ersa, apa kamu akan jijik padaku dan tak ingin lagi kembali padaku?"

"Kenapa kamu tanyakan itu? Apa kamu memberiku harapan untuk menerima aku kembali?" Airin balik bertanya, dan nadanya memang masih sarat akan harapan.

"Jangan bermimpi, saya sudah putuskan untuk menikahi Ersa kelak."

"Kamu yakin?" tanya Airin kecewa.

Ronald mengangguk.

"Sungguh?"

"Ya."

"Dia baik, Ron? Maksudku, kepribadiannya? Apa dia type kamu dan pantas menjadi istri bagi kamu dan ibu untuk anak anakmu?"

entahlah, sebenarnya Ronald tak yakin, apalagi jika ingat akan latar belakang dan masa lalu Ersa yg hitam pekat. Pantaskah ia menjadi istri Ronald dan menjadi ibu bagi anak anaknya kelak? Untuk menjadi seorang ibu, tentu diperlukan seorang wanita yang baik agar dapat melahirkan anak anak yg baik pula. Tapi jika Ersa ingin memperbaiki hidupnya dan telah bertekad untuk itu, kenapa tak ia beri kesempatan? AH, entahlah, lagi pula Ronald sebenarnya masih jauh jika bicara tentang pernikahan. Dia hanya ingin membuktikan pada Airin kalau ia sudah tak perlukan dia lagi.

"Kalau memang begitu, maaf saya mengganggu kamu, tapi kapan kapan, kenalkan saya dengan Ersa."

Ronald hanya mengangguk pelan.

"Dia pasti cantik sekali."

"Memangnya Ari tak cerita?" tanya Ronald dengan nada bangga. Tapi di balik ucapan itu, ia sadar, Airin lebih punya banyak nilai tambah dibanding Ersa. Kelebihan Ersa hanya satu, dia jauh lebih cantik.

"Hurmm, maaf saya tadi sempat mengatakan padamu kalau Ersa hanya seorang pelayan toko," ucap Airin.

"Tak apa apa. Tapi sebenarnya dia bukan pelayan, tapi dia kasir."

"Sama sajakan?" getus Airin agak sinis.

"Memang sama saja, dan bagiku, siapapun dia tak ada bedanya. Saya tetap sayang."

perih menggores hati Airin. Dia iri dan cemburu. Lalu buru buru ia pamit pulang, sebelum Ronald semakin membanggakan kekasihnya di hadapannya.

Dan entah kenapa, seperginya Airin, Ronald malah terus memikirkannya dan membanding bandingkan gadis itu dengan Ersa. Dan dia juga tiba tiba merasa bersalah atas sikapnya yg dingin pada Airin tadi. Ah, kenapa harus sedingin itu? Masih sakit hatikah dia? Sadar atau tidak, rasa sakit itu masih ada, barangkali kerna ia masih menyimpan perasaan cintanya pada Airin.

Dulu, cintanya pada Airin memang sangat mendalam. Begitu dalam, hingga ia terluka parah. Untuk menyembuhkan lukanya, dia malah merusak dirinya sendiri dengan membenamkan hidupnya pada minuman keras dan obat obatan terlarang, sampai ia ketemu Ersa. Dan kerna Ersa berasal dari dunia yg sama dengannya, mereka bersama sama juga keluar dari sana dan bertekad memperbaiki diri. Dan keduanya berjanji untuk saling memaafkan masa lalu mereka dan saling menerima. Tapi entahlah, Ronald sendiri sering dihinggapi rasa ragu, dia tak yakin kalau dirinya bisa menerima dengan sepenuh hati keadaan Ersa. Kerna seperti kata Airin tadi, Ronald tak hanya mencari kekasih untuk dirinya, tapi juga harus mencari ibu bagi anak anaknya. Dan bila berpikir tentang ibu bagi anak anaknya, Ronald harus mencari yang terbaik. Jadi, bisakah Ersa di harapkan? Ronald Ragu, Ronald tak yakin.

******